Senin, 28 November 2016

makalah pengantar bisnis islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Istilah organisasi dewasa ini sudah sangat familiar di kalangan masyarakat. Apalagi dengan istilah bisnis. Namun jika dua kata tersebut dipadankan menjadi organisasi bisnis, tentu tidak semua memahami dan familiar dengan istilah ini.
Dalam kondisi perekonomian dunia, termasuk Indonesia, yang masih dikuasai oleh sistem kapitalisme, berimbas pada lahirnya banyak badan hukum sebagai entitas tersendiri (perusahaan yang bermotif laba atau nirlaba) yang dianggap bisa berdiri sendiri atau lepas dari pemiliknya. Bahkan, hak dan kewajibannya pun bisa dilepaskan pula dari pemiliknya.
Keadaan seperti ini pada akhirnya sering kali menimbulkan beragam problem. Entitas (satuan yang berwujud) atau organisasi usaha itu mengabaikan kewajiban tapi merasa memiliki hak yang penuh. Akibatnya, muncul berbagai tindakan kezaliman yang merugikan masyarakat. Seolah organisasi bisnis itu tidak merasa memikul tanggung jawab moral, dan hanya diakui sebatas badan hukum saja.
Menurut Satyanugraha yang dikutip oleh Sofyan S. Harahap bisa jadi yang menyebabkan munculnya problematika di sekitar organisasi bisnis adalah aliran yang dianutnya. Dalam hal ini terdapat tiga aliran:
1.  Organization View. Aliran ini berpendapat perusahaan tidak perlu memikirkan masalah moral, sebab hal tersebut urusan pemerintah dan masyarakat. Perusahaan hanya memikirkan masalah hukum.
2.  Moral Person View. Aliran ini berpendapat perusahaan wajib bertindak secara moral. Artinya, perusahaan harus selalu memikirkan segala dampak tindakannya kepada orang lain (masyarakat).
3.   Moral Actor View. Dalam aliran ini organisasi, perusahaan, bahkan negara dianggap faktor moral yang harus bertanggung jawab moral secara entitas. Maksudnya, perusahaan dianggap seperti orang, manusia, atau sebagai penduduk yang baik (a good citizen).
Sebagai agama yang komprehensif, Islam tentu memiliki pandangan terhadap keberadaan entitas (organisasi bisnis) ini. Sejatinya, entitas ideal adalah sebuah organisasi bisnis yang memiliki Moral Actor View sebagai landasannya. Sebab hanya pandangan inilah yang dianggap sesuai dengan persepsi Islam.[1][3]
Oleh karena itu, dalam upaya meluruskan dan mendudukkan persoalan secara syar’i, agar organisasi bisnis yang berkembang di tengah-tengah masyarakat ke depannya tampil secara Islami, Penulis akan membahasnya dalam paper ini.
 
B.      Rumusan Masalah
Dari paparan latar belakang di atas, Penulis merumuskan setidaknya terdapat masalah yang perlu dikaji, yaitu:
1.    Bagaimana definisi organisasi bisnis perspektif syari’ah?
2.    Bagaimana urgensinya terhadap kemaslahatan umat?
3.    Seperti apa bentuk organisasi bisnis yang sudah ada saat ini?
4.    Bagaimana bentuk organisasi bisnis Islam yang ideal? 
           










BAB II
PEMBAHASAN

A.      Definisi Organisasi Bisnis Islam
Kamus Besar Bahasa Indonesia secara terpisah mendefinisikan organisasi sebagai “kesatuan (susunan, dan sebagainya) yang terdiri atas bagian-bagian (orang, dan sebagainya) dalam perkumpulan dan sebagainya, untuk tujuan tertentu”, atau “kelompok kerja sama antara orang-orang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama.
Afzalur Rahman mendefinisikan organisasi sebagai “keseluruhan kerja merencanakan dan mengarahkan perusahaan. Sementara bisnis didefinisikan sebagai “usaha komersial dalam dunia perdagangan; bidang usaha; atau disebut juga usaha dagang.
Secara umum bisnis dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh pendapatan atau penghasilan atau rizki dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya dengan cara mengelola sumber daya ekonomi secara efektif dan efisien.
Adapun dalam Islam bisnis dapat dipahami sebagai serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram).
Pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa Islam mewajibkan setiap muslim, khususnya yang memiliki tanggungan untuk bekerja. Bekerja merupakan salah satu sebab pokok yang memungkinkan manusia memiliki harta kekayaan. Untuk memungkinkan manusia berusaha mencari nafkah, Allah SWT melapangkan bumi serta menyediakan berbagai fasilitas yang dapat dimanfaatkan untuk mencari rizki. Allah SWT berfirman:

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ ذَلُولا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ (١٥)
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk [67]: 15)

Dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman:
وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِي الأرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ (١٠)
   “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.” (QS. Al-A’raaf [7]: 10)

Sedangkan Agus Arijanto menyebut organisasi bisnis sebagai organisasi bisnis perusahaan yang berarti suatu lembaga/organisasi/institusi yang didirikan sesuai aturan hukum yang berlaku, dan adanya orang-orang yang usahanya dikoordinasikan, terdiri dari subsistem yang saling berhubungan, bekerja bersama-sama, sesuai dengan peran dan wewenangnya dalam mencapai tujuan.
Dari paparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan organisasi bisnis Islam adalah keseluruhan koordinasi antar subsistem yang saling berhubungan dalam rangka mencapai tujuan usaha yang didasari aturan syari’ah.

B.      Urgensi Organisasi Dalam Bisnis Islam
Organisasi merupakan hal yang penting dalam ajaran Islam. Sejumlah institusi dasar dalam Islam seperti ibadah shalat lima waktu dan pelaksanaan haji tidak dapat diselenggarakan tanpa adanya organisator (imam). Bahkan kenyataannya, dalam Islam tidak ada satu pun yang dapat dikerjakan secara kolektif tanpa pemimpin. Pentingnya kedudukan organisasi dalam Islam juga terlihat dari kenyataan bahwa Allah SWT adalah Pengatur yang Terbaik, sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Quran:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الأمْرَ مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلا مِنْ بَعْدِ إِذْنِهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ أَفَلا تَذَكَّرُونَ (٣)
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorang pun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian Itulah Allah, Tuhan kamu, Maka sembahlah Dia. Maka Apakah kamu tidak mengambil pelajaran? (QS. Yunus [10]: 3)

Berkenaan dengan urgensi organisasi dalam bisnis Islam, Afzalur Ra
menyatakan:
Dalam perindustrian modern, organisasi memainkan peranan yang sangat berarti dan dianggap sebagai faktor produksi yang paling penting. Usahawan yang menggunakan faktor-faktor produksi yang lain seperti tanah, buruh, dan modal, dalam kadar yang betul dan faktor tersebut bekerja dengan cara yang sebaik mungkin agar memberikan hasil yang maksimum dengan biaya yang minimum. Seorang usahawan diibaratkan sebagai kapten sebuah kapal yang berperan dalam mengemudikan kapal (industri) dengan selamat ke pelabuhan (tujuan kesejahteraan ekonomi).
Dari penjelasan tersebut dapat difahami secara tegas bahwa organisasi dalam bisnis Islam sangat dibutuhkan peranannya. Urgensi ini berkaitan erat dengan tujuan dari bisnis perspektif syari’ah, yang intinya adalah demi kemaslahatan masyarakat.

C.         Mengenal Bentuk Organisasi Bisnis Konvensional di Indonesia
Di Indonesia bentuk-bentuk organisasi bisnis yang sudah berkembang sejak zaman Belanda, di antaranya:

1.    Perusahaan Dagang;
2.    Persekutuan Perdata;
3.    Persekutuan Firma (Fa);
4.    Persekutuan Komanditer (CV); dan
5.    Perseroan Terbatas (PT).
Oleh Agus Arijanto, bentuk-bentuk organisasi bisnis yang sudah ada sejak lama di Indonesia ini diklasifikasikan menjadi dua bagian[2][12], yakni
1.    Badan Usaha/Perusahaan Perseorangan atau Individu; dan
2.    Badan Usaha/Perusahaan Persekutuan/Partnership, yang terdiri dari:
a.  Firma, suatu bentuk persekutuan bisnis yang terdiri dari dua orang atau lebih dengan nama bersama yang tanggung jawabnya terbagi rata tidak terbatas pada setiap pemiliknya. Contoh Firma (Fa) biasanya advokat (pengacara, penasihat hukum, konsultan hukum), konsultan bisnis, dan akuntan publik.
b.   Persekutuan Komanditer/CV (Commanditaire Vennotschaap), suatu bentuk badan usaha yang didirikan dan dimiliki oleh dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan bersama dengan tingkat keterlibatan berbeda-beda di antara anggota-anggotanya.
c.    Perseroan Terbatas/PT/Korporasi/Korporat, organisasi bisnis yang memiliki badan hukum resmi yang dimiliki oleh minimal dua orang dengan tanggung jawab yang hanya berlaku pada perusahaan tanpa melibatkan harta pribadi atau perseorangan yang ada di dalamnya.

D.      Tipe dan Bentuk Organisasi Bisnis Dalam Islam
Veithzal Rifai, membagi organisasi bisnis dalam ekonomi Islam menjadi dua tipe, yaitu:
1.    Pemilik Tunggal
Bentuk organisasi bisnis paling sederhana dan selalu ada hampir dalam nonspealis ekonomi merupakan jalan paling lama untuk memimpin bisnis. Bentuk lain dari organisasi bisnis dibangun kemudian dengan kebutuhan-kebutuhan dan kompleksitas dari ekonomi dan kehidupan sosial. Ekonomi Islam mengizinkan perusahaan dijalankan sendiri dan tidak mengikat mereka dalam jalur lain kecuali bisnis tersebut dijalankan melebihi organisasi syari’ah.
2.    Kerja Sama
Hubungan antara dua atau lebih orang dalam mendistribusikan keuntungan dan kerugian sebuah bisnis berjalan dengan seluruh atau salah satu dari mereka menanggungnya. Bentuknya terdiri dari:
a.    Mudharabah;
b.    Syirkah;
c.    Perusahaan.

a.    Mudharabah
Konsep mudharabah berarti seseorang atau satu pihak menyediakan modal dan yang lain menawarkan tenaga kerja, dan keduanya akan membagi keuntungan. Keuntungan dibagikan berdasarkan syarat-syarat perjanjian yang dibuat di antara kedua belah pihak.

Mudharabah adalah suatu bentuk kerja sama di man salah satu anggota kontrak, disebut sahib al-mal atau  rabb al-mal (lembaga keuangan), menyediakan jumlah uang tertentu dan tindakan seperti tidur, atau calon mitra, ketika anggota lain, disebut mudharib (pengusaha), menyediakan usaha dan manjemen untuk menunjang setiap kerja sama modal asing, perdagangan, industri atau jasa dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Mudharabah juga disamakan bagian dari qirad di mana kasus lembaga keuangan disebut muqarid.
Perjanjian mudharabah dapat formal dan informal, dan tertulis atau lisan. Bagaimanapun, dalam pandangan penekanan al-qur’an, baik dalam tulisan dan persetujuan pinjaman formal, hal ini akan lebih disukai untuk semua perjanjian mudharabah yang tertulis, dengan saksi utama, untuk mengindari salah pengertian apapun.

Dengan demikian, mudharabah adalah hubungan antara dua orang atau lebih, diman satu orang atau lebih menyediakan modal dan yang lain menjalankan bisnis atas nama ia atau mereka pada tingkat keuntungan yang telah disepakati.

1.      Alokasi keuntungan antara pemilik dan pengusaha akan dibuat pada tingkat yang
telah disepakati. Di luar kasus pasti aksn menjadi jumlah yang absolute. Perjanjian akan bebas persetujuan dari pihak-pihak.
2.      Alokasi Kerugian
Syariah islam memiliki aturan umum untuk alokasi kerugian. Aturan umum adalah bahwa kerugian berarti pengurangan modal asli. Jika ia dikurangi, akan menjadi kerugia bagi pemilik. Dalam mudharabah, pengusaha bekerja sebagai agen pemilik. Jika ada kerugian yang disebabkan oleh kelalaian pengusaha, ia akan ditanggung pemilik sendiri. Dalam kasus pengusaha tidak akan mendapat penghargaan apapun untuk pekerjaannya, dalam syariah Islam tidak membuat pengusaha membagi kerugian pemilik, karena seluruh pekerjaan telah tidak diberi penghargaan.
3.      Hak Pengusaha
a.       Subjek perjanjian, pengusaha memiliki hak-hak sebagai berikut.
ü  Membawa modalnya sendiri ke dalam bisnis.
ü  Mendapatkan modal dari pihak ketiga untuk mudharabah.
ü  Menjual barang dengan kredit.
ü  Membeli barang dengan kredit.
b.    Hak yang tegas
Pengusaha harus melihat persetujuan dengan pemilik dalam beberapa hal berikut.
ü  Member pinjaman uang ke pihak ketiga.
ü Membeli barang-barang dengan kredit, nilai yang mengurangi total likuiditas bisnis.
ü  Meminjam uang untuk bisnis.
4.   Mudharabah dan Tanggung Jawab Pihak
Konsep tnggung jawab dalam mudharabah adalah sangat sama dengan kemitraan. Seluruh situasi dapat dinyatakan ulang sebagai berikut.
a.    Tanggung jawab pemilik adalah sebesar total modalnya, kecuali ia memasukan dananya sebagai pinjaman yang tidak dapat dibayar dari modal; dalam kasus itu akan menjadi sebesar pinjamannya.
b.   Keuntungan dan kerugian
1.  Dalam kasus mudharabah, jika pengusaha membeli barang-barang dengan kredit dalam kelebihan total modal bisnis dengan persetujuan pemilik, keduanya pemilik dan pengusaha akan dianggap bertanggung jawab untuk membayar utang.
2.  Keuntungan atau kerugian apapun atas uang yang dipinjam dalam kelebihan total modal ini, ia dalam posisi kemitraan dengan pemilik. Ini tipe kemitraan ketika kedua atau seluruh mitra tidak membawa modal apapun tapi mereka bertransaksi dengan modal dipinjamkan, keuntungan atau kerugian akan dibagi antara pemilik dan pengusaha sama besar;
3.   Jika pemilik ingin memperluas bisnis pendekatan langsung untuknya adalah meminjam sejumlah uang dari luar dan menyalurkannya ke usaha atas namanya. Dalam kasus itu, ia akan dipertimbangkan sebagai pemilik seluruh modal yang diinvestasikan dan tingkat mudharabah akan diterapkan atas total keuntungan.
4.  Dalam kasus ada kerugian modal, pada saat itu, kreditor pertama akan dibayar penuh dan sisa penurunan modal akan ditanggung oleh pemilik sendiri.
5. Pembubaran Mudharabah
Seperti kemitraan, kontrak mudharabah dapat dicabut kembali kapanpun, kecuali pencabutan kembali merugikan pihak lain. Dalam cara yang sama ia akan dibubarkan dengan kematian,dan/atau kegilaan salah satu pihak. Seperti kemitraan, kontrak mudharabah dapat dilanjutkan oleh orang yang tersisa, dalam kasus salah seorang memilih untuk pergi atau meninggal atau mengantisipasi luka fisik atau mental. Ini member ketahanan hidup organisasi. Ia tidak perlu dibubarkan ketika salah seorang keluar.  


b.   Syirkah
Shirkah (atau sharikah) menunjukkan pada hubungan kerjasama/kemitraan antara dua atau lebih orang, yang terdiri atas dua jenis: shirkah al-milk (tanpa kontrak) dan shirkah al-‘uqud (dengan kontrak). Shirkah al-milk (kerja tanpa kontrak) menjelaskan kepemilikan usaha dan datang ke dalam keberadaan ketika dua atau lebih orang yang terjadi untuk memperoleh kepemilikan kerja sama beberapa asset tanpa harus memasuki ke dalam perjanjian kerja sama formal.
Shirkah al-‘uqud (kerja sama kontraktual) dapat dipertimbangkan sebagai kerja sama tertentu karena perhatian berbagai pihak berkeinginan masuk kedalam perjanjian kontraktual kerjasama investasi dan pembagian keuntungan dan risiko. Perjanjian tersebut tidak membutuhkan formalitas dan tertulis. Bisa saja dalam bentuk tidak formal dan secara lisan. Bagaimanapun diindikasikan di bawah mudharabah, akan sangat disukai jika shirkah al-‘iqud juga diformalisasikan oleh perjajian tertulis dengan saksi-saksi tertentu, khususnya menentukan tahap dijajiakan dan kondisi konfirmasi dengan al-qur’an.
Syirkah terdiri dari dua jenis, yaitu:
a.    Syirkah al-Milk (non kontrak); dan
b.  Syirkah al-‘Uqud (sesuai kontrak), yang terdiri dari empat model, yaitu Mufawadhah, Inan (An’am), Abdan (Sanai), dan Wujuh.

Kerjasama jenis ini secara singkat dapat dijelaskan, yaitu:
1)             Syirkah Mufawadhah, semua pihak yang bekerjasama mempunyai kedudukan yang sama baik dalam keuntungan dan kerugian, sehingga mereka mempunyai andil modal yang sama. Setiap pihak merupakan agen dan siap membantu pihak yang lain.
2)             Syirkah An’am, kedua pihak yang bekerjasama tidak memiliki andil yang sama baik dari segi modal maupun dalam pembagian keuntungan. Pihak yang memiliki andil dalam modal yang lebih besar akan memperoleh keuntungan yang lebih besar pula.
3)             Syirkah Sanai (Syirkah Abdan), apabila para ahli, teknisi, dan pekerja-pekerja sama memproduksi suatu komoditi atau beberapa komoditi.
4)             Syirkah Wujuh, apabila suatu pihak tidak mempunyai keahlian maupun modal yang akan diikutsertakan dalam suatu usaha, maka mereka boleh ikut dalam usaha itu berdasarkan kredit dan berhak menerima keuntungan.

c.    Perusahaan
Merupakan salah satu bentuk dari organisasi bisnis dalam Islam, dengan badan hukum yang terpisah, tidak terlihat secara langsung dalam diskusi fiqh. Perkiraan terdekat untuk badan hukum perusahaan adalah baitul maal, properti masjid, kepercayaan, dan kerjasama mufawadhah. Perusahaan sangat penting dalam organisasi bisnis Islam. Ia menyediakan keamanan dan keuntungan yang tidak bisa didapat dari bentuk organisasi bisnis lainnya.


1.    Prilaku perusahaan Islami
Pelajaran mengenai perilaku telah mendapat kesempatan dengan perilaku menyimpang yang dilaporkan dari Ernron dan WorldCom pada praktik akuntansi. Ditahun 1999, perilaku prusahaan telah mendapatkan perhatian, ketika didukung oleh Organisasi Pengembangan dan Kerjasama Ekonomi (OECD) definisi dari perilaku perusahaan sebagai hubungan antara manajemen perusahaan, dewan direksi, pemegang saham, dan pihak lain yang berkepentingan.
Sisi berlawanan dari versi Eropa, seperti yang dikonfirmasi oleh model Franco German, menolong untuk melindungi siklus yang luas dari pihak yang berkepentingan dan memiliki klaim, hak, dan kewajiban masing-masing pihak yang  berkepentingan. Model ini berkata bahwa seharusnya diarahkan untuk manfaat dari semua yang memiliki kepentingan dalam perusahaan.

Pelajaran mengenai perilaku perusahaan Islam seharusnya menarik minat seseorang, memberikan banyak jalan tersembunyi yang belum ditunjukkan pada sisi resmi fiqh mensyaratkan fukaha (ahli hukum Islam) untuk mengambil pandangan yang serius terhadap bentuk perusahaan gabungan dan kerja sama dalam modal. Tidak diragukan lagi, menguji bentuk kemanusiaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi tindakannya terletak pada filosofi utama (falasafah) dan mistik (tasawuf).

2.             Kepemilikan Tunggal
Kepemilikan tunggal sebagai bentuk yang sangat sederhana dalam organisasi bisnis dan hampir ada disetiap ekonomi non-sosialis dan jenis ini sekaligus sebagai bentuk paling tua dalam menjalankan bisnis. Bentuk lain organisasi bisnis berkembang kemudian dengan kebutuhan dan kompleksitas kehidupan ekonomi dan sosial.

Seperti dalam sistem ekonomi kapitalis, ekonomi islam mengizinkan perusahaan swasta oleh individu dan tidak mengikatnya dalam cara lain kecuali bisnis dijalankan dalam ikatan syariah Islam. Organisasi tersebut harus mampu mendaptkan modal, menggaji tenaga kerja, dan faktor lain pada produksi, utamanya dalam menghadapi resiko kerugian apapun yang mungkin terjadi.




























BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
1.  Organisasi bisnis dalam perspektif Islam adalah keseluruhan koordinasi antar subsistem yang saling berhubungan dalam rangka mencapai tujuan usaha yang didasari aturan syari’ah.
2.  Organisasi dalam bisnis Islam sangat dibutuhkan peranannya. Urgensi ini berkaitan erat dengan tujuan dari bisnis perspektif syari’ah, yang intinya adalah demi kemaslahatan masyarakat.
3.      Mudharabah dan shirkah keduanya diperlukan sebagai kontrak berjangka panjang waktu (‘uqud al-amanah) dalam literature fiqh, kejujuran yang tidak tercoreng dan keadilan sungguh sangat penting untuk dipertimbangkan. Para mitra harus berkeyakinan untuk keuntungan bersama dan setiap usaha mitra (atau direktur perusahaan join saham)  untuk atau pendapat berasal dari bagian yang tidak adil akan menjadi kejahatan yang sempurna dalam ajaran islam.

B.            Saran
Demikian makalah ini kami susun, namun sebagai manusia yang tidak sempurna kami menyadari bahwa ada banyak kesalahan-kesalahan serta kekurangan-kekurangan yang terdapat didalamnya baik dalm segi isi, pengetikan, dan kesalahan-kesalahan yang terjadi, untuk itu kiranya dapat di maklumi.







DAFTAR PUSTAKA


Harahap, Sofyan S. Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam. Jakarta: Salemba Empat.2011.
Arijanto, Agus. Etika Bisnis Bagi Pelaku Bisnis. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.

Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam. Jilid I. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1995.




Harahap, Sofyan S. Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam. Jakarta: Salemba Empat.2011         


Tidak ada komentar:

Posting Komentar