BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah organisasi dewasa
ini sudah sangat familiar di kalangan masyarakat. Apalagi dengan istilah
bisnis. Namun jika dua kata tersebut dipadankan menjadi organisasi bisnis,
tentu tidak semua memahami dan familiar dengan istilah ini.
Dalam kondisi perekonomian
dunia, termasuk Indonesia, yang masih dikuasai oleh sistem kapitalisme,
berimbas pada lahirnya banyak badan hukum sebagai entitas tersendiri (perusahaan
yang bermotif laba atau nirlaba) yang dianggap bisa berdiri sendiri atau lepas
dari pemiliknya. Bahkan, hak dan kewajibannya pun bisa dilepaskan pula dari
pemiliknya.
Keadaan seperti ini pada akhirnya sering kali menimbulkan beragam problem.
Entitas (satuan yang berwujud) atau organisasi usaha itu mengabaikan kewajiban
tapi merasa memiliki hak yang penuh. Akibatnya, muncul berbagai tindakan
kezaliman yang merugikan masyarakat. Seolah organisasi bisnis itu tidak merasa
memikul tanggung jawab moral, dan hanya diakui sebatas badan hukum saja.
Menurut Satyanugraha yang
dikutip oleh Sofyan S. Harahap bisa jadi yang menyebabkan munculnya
problematika di sekitar organisasi bisnis adalah aliran yang dianutnya. Dalam
hal ini terdapat tiga aliran:
1. Organization View. Aliran ini berpendapat
perusahaan tidak perlu memikirkan masalah moral, sebab hal tersebut urusan
pemerintah dan masyarakat. Perusahaan hanya memikirkan masalah hukum.
2. Moral Person View. Aliran ini berpendapat
perusahaan wajib bertindak secara moral. Artinya, perusahaan harus selalu
memikirkan segala dampak tindakannya kepada orang lain (masyarakat).
3. Moral Actor View. Dalam aliran ini
organisasi, perusahaan, bahkan negara dianggap faktor moral yang harus
bertanggung jawab moral secara entitas. Maksudnya, perusahaan dianggap seperti
orang, manusia, atau sebagai penduduk yang baik (a good citizen).
Sebagai agama yang komprehensif, Islam tentu memiliki pandangan terhadap
keberadaan entitas (organisasi bisnis) ini. Sejatinya, entitas ideal adalah
sebuah organisasi bisnis yang memiliki Moral Actor View sebagai
landasannya. Sebab hanya pandangan inilah yang dianggap sesuai dengan persepsi
Islam.[1][3]
Oleh karena itu, dalam upaya meluruskan dan mendudukkan persoalan secara syar’i,
agar organisasi bisnis yang berkembang di tengah-tengah masyarakat ke
depannya tampil secara Islami, Penulis akan membahasnya dalam paper ini.
B. Rumusan Masalah
Dari paparan latar belakang di atas, Penulis merumuskan setidaknya terdapat
masalah yang perlu dikaji, yaitu:
1.
Bagaimana definisi organisasi bisnis perspektif syari’ah?
2.
Bagaimana urgensinya terhadap kemaslahatan umat?
3.
Seperti apa bentuk organisasi bisnis yang sudah ada saat ini?
4.
Bagaimana bentuk organisasi bisnis Islam yang ideal?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Organisasi Bisnis Islam
Kamus Besar Bahasa
Indonesia secara terpisah mendefinisikan organisasi sebagai “kesatuan (susunan,
dan sebagainya) yang terdiri atas bagian-bagian (orang, dan sebagainya) dalam
perkumpulan dan sebagainya, untuk tujuan tertentu”, atau “kelompok kerja sama
antara orang-orang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama.
Afzalur Rahman
mendefinisikan organisasi sebagai “keseluruhan kerja merencanakan dan
mengarahkan perusahaan.
Sementara bisnis didefinisikan sebagai “usaha komersial dalam dunia
perdagangan; bidang usaha; atau disebut juga usaha dagang.
Secara umum bisnis dapat
diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh
pendapatan atau penghasilan atau rizki dalam rangka memenuhi kebutuhan dan
keinginan hidupnya dengan cara mengelola sumber daya ekonomi secara efektif dan
efisien.
Adapun dalam Islam bisnis
dapat dipahami sebagai serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk
profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram).
Pengertian di atas dapat
dijelaskan bahwa Islam mewajibkan setiap muslim, khususnya yang memiliki tanggungan untuk bekerja. Bekerja merupakan salah satu sebab pokok yang memungkinkan
manusia memiliki harta kekayaan. Untuk memungkinkan manusia berusaha mencari nafkah, Allah SWT melapangkan bumi serta menyediakan berbagai
fasilitas yang dapat dimanfaatkan untuk mencari rizki. Allah SWT berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ ذَلُولا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا
وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ (١٥)
“Dialah yang menjadikan
bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah
sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah)
dibangkitkan.” (QS.
Al-Mulk [67]: 15)
Dalam ayat lain, Allah SWT
juga berfirman:
وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِي الأرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ
فِيهَا مَعَايِشَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ (١٠)
“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi
dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu
bersyukur.” (QS.
Al-A’raaf [7]: 10)
Sedangkan Agus Arijanto
menyebut organisasi bisnis sebagai organisasi bisnis perusahaan yang berarti
suatu lembaga/organisasi/institusi yang didirikan sesuai aturan hukum yang
berlaku, dan adanya orang-orang yang usahanya dikoordinasikan, terdiri dari
subsistem yang saling berhubungan, bekerja bersama-sama, sesuai dengan peran
dan wewenangnya dalam mencapai tujuan.
Dari paparan di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan organisasi bisnis Islam
adalah keseluruhan koordinasi antar subsistem yang saling berhubungan dalam
rangka mencapai tujuan usaha yang didasari aturan syari’ah.
B. Urgensi Organisasi Dalam Bisnis Islam
Organisasi merupakan hal
yang penting dalam ajaran Islam. Sejumlah institusi dasar dalam Islam seperti
ibadah shalat lima waktu dan pelaksanaan haji tidak dapat diselenggarakan tanpa
adanya organisator (imam). Bahkan kenyataannya, dalam Islam tidak ada satu pun
yang dapat dikerjakan secara kolektif tanpa pemimpin. Pentingnya kedudukan
organisasi dalam Islam juga terlihat dari kenyataan bahwa Allah SWT adalah
Pengatur yang Terbaik, sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Quran:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الأمْرَ
مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلا مِنْ بَعْدِ إِذْنِهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ
فَاعْبُدُوهُ أَفَلا تَذَكَّرُونَ (٣)
Sesungguhnya Tuhan kamu
ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia
bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorang pun yang
akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian Itulah
Allah, Tuhan kamu, Maka sembahlah Dia. Maka Apakah kamu tidak mengambil
pelajaran? (QS. Yunus [10]: 3)
Berkenaan dengan urgensi organisasi dalam bisnis Islam,
Afzalur Ra
menyatakan:
Dalam perindustrian modern, organisasi memainkan peranan
yang sangat berarti dan dianggap sebagai faktor produksi yang paling penting.
Usahawan yang menggunakan faktor-faktor produksi yang lain seperti tanah,
buruh, dan modal, dalam kadar yang betul dan faktor tersebut bekerja dengan
cara yang sebaik mungkin agar memberikan hasil yang maksimum dengan biaya yang
minimum. Seorang usahawan diibaratkan sebagai kapten sebuah kapal yang berperan
dalam mengemudikan kapal (industri) dengan selamat ke pelabuhan (tujuan
kesejahteraan ekonomi).
Dari penjelasan tersebut
dapat difahami secara tegas bahwa organisasi dalam bisnis Islam sangat
dibutuhkan peranannya. Urgensi ini berkaitan erat dengan tujuan dari bisnis
perspektif syari’ah, yang intinya adalah demi kemaslahatan masyarakat.
C. Mengenal Bentuk Organisasi
Bisnis Konvensional di Indonesia
Di Indonesia bentuk-bentuk
organisasi bisnis yang sudah berkembang sejak zaman Belanda, di antaranya:
1. Perusahaan Dagang;
2. Persekutuan Perdata;
3. Persekutuan Firma (Fa);
4. Persekutuan Komanditer (CV); dan
5. Perseroan Terbatas (PT).
Oleh Agus Arijanto,
bentuk-bentuk organisasi bisnis yang sudah ada sejak lama di Indonesia ini
diklasifikasikan menjadi dua bagian[2][12], yakni
1. Badan Usaha/Perusahaan Perseorangan atau Individu; dan
2. Badan Usaha/Perusahaan Persekutuan/Partnership, yang
terdiri dari:
a. Firma, suatu bentuk
persekutuan bisnis yang terdiri dari dua orang atau lebih dengan nama bersama
yang tanggung jawabnya terbagi rata tidak terbatas
pada setiap pemiliknya. Contoh Firma (Fa) biasanya advokat (pengacara,
penasihat hukum, konsultan hukum), konsultan bisnis, dan akuntan publik.
b.
Persekutuan Komanditer/CV
(Commanditaire Vennotschaap), suatu bentuk badan usaha yang didirikan
dan dimiliki oleh dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan bersama dengan
tingkat keterlibatan berbeda-beda di antara anggota-anggotanya.
c.
Perseroan
Terbatas/PT/Korporasi/Korporat, organisasi bisnis yang memiliki badan hukum
resmi yang dimiliki oleh minimal dua orang dengan tanggung jawab yang hanya
berlaku pada perusahaan tanpa melibatkan harta pribadi atau perseorangan yang
ada di dalamnya.
D. Tipe dan Bentuk Organisasi
Bisnis Dalam Islam
Veithzal Rifai, membagi organisasi bisnis dalam ekonomi Islam menjadi dua
tipe, yaitu:
1.
Pemilik Tunggal
Bentuk organisasi bisnis
paling sederhana dan selalu ada hampir dalam nonspealis ekonomi merupakan jalan
paling lama untuk memimpin bisnis. Bentuk lain dari organisasi bisnis dibangun
kemudian dengan kebutuhan-kebutuhan dan kompleksitas dari ekonomi dan kehidupan
sosial. Ekonomi Islam mengizinkan perusahaan dijalankan sendiri dan tidak
mengikat mereka dalam jalur lain kecuali bisnis tersebut dijalankan melebihi
organisasi syari’ah.
2.
Kerja Sama
Hubungan antara dua atau
lebih orang dalam mendistribusikan keuntungan dan kerugian sebuah bisnis
berjalan dengan seluruh atau salah satu dari mereka menanggungnya. Bentuknya
terdiri dari:
a. Mudharabah;
b. Syirkah;
c. Perusahaan.
a.
Mudharabah
Konsep mudharabah berarti
seseorang atau satu pihak menyediakan modal dan yang lain menawarkan tenaga
kerja, dan keduanya akan membagi keuntungan. Keuntungan dibagikan berdasarkan syarat-syarat
perjanjian yang dibuat di antara kedua belah pihak.
Mudharabah adalah suatu bentuk kerja sama di man salah satu anggota
kontrak, disebut sahib al-mal
atau rabb
al-mal (lembaga keuangan), menyediakan jumlah uang tertentu dan tindakan
seperti tidur, atau calon mitra, ketika anggota lain, disebut mudharib (pengusaha), menyediakan usaha
dan manjemen untuk menunjang setiap kerja sama modal asing, perdagangan,
industri atau jasa dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Mudharabah juga disamakan bagian
dari qirad di mana kasus lembaga
keuangan disebut muqarid.
Perjanjian
mudharabah dapat formal dan informal, dan tertulis atau lisan. Bagaimanapun,
dalam pandangan penekanan al-qur’an, baik dalam tulisan dan persetujuan
pinjaman formal, hal ini akan lebih disukai untuk semua perjanjian mudharabah
yang tertulis, dengan saksi utama, untuk mengindari salah pengertian apapun.
Dengan
demikian, mudharabah adalah hubungan antara dua orang atau lebih, diman satu
orang atau lebih menyediakan modal dan yang lain menjalankan bisnis atas nama
ia atau mereka pada tingkat keuntungan yang telah disepakati.
1. Alokasi keuntungan antara pemilik
dan pengusaha akan dibuat pada tingkat yang
telah
disepakati. Di luar kasus pasti aksn menjadi jumlah yang absolute. Perjanjian akan
bebas persetujuan dari pihak-pihak.
2. Alokasi Kerugian
Syariah islam memiliki aturan umum
untuk alokasi kerugian. Aturan umum adalah bahwa kerugian berarti pengurangan
modal asli. Jika ia dikurangi, akan menjadi kerugia bagi pemilik. Dalam
mudharabah, pengusaha bekerja sebagai agen pemilik. Jika ada kerugian yang
disebabkan oleh kelalaian pengusaha, ia akan ditanggung pemilik sendiri. Dalam
kasus pengusaha tidak akan mendapat penghargaan apapun untuk pekerjaannya,
dalam syariah Islam tidak membuat pengusaha membagi kerugian pemilik, karena
seluruh pekerjaan telah tidak diberi penghargaan.
3. Hak Pengusaha
a. Subjek perjanjian, pengusaha
memiliki hak-hak sebagai berikut.
ü Membawa modalnya sendiri ke dalam
bisnis.
ü Mendapatkan modal dari pihak ketiga
untuk mudharabah.
ü Menjual barang dengan kredit.
ü Membeli barang dengan kredit.
b. Hak yang tegas
Pengusaha harus melihat persetujuan
dengan pemilik dalam beberapa hal berikut.
ü Member
pinjaman uang ke pihak ketiga.
ü Membeli
barang-barang dengan kredit, nilai yang mengurangi total likuiditas bisnis.
ü Meminjam
uang untuk bisnis.
4. Mudharabah dan Tanggung Jawab Pihak
Konsep
tnggung jawab dalam mudharabah adalah sangat sama dengan kemitraan. Seluruh
situasi dapat dinyatakan ulang sebagai berikut.
a. Tanggung jawab pemilik adalah
sebesar total modalnya, kecuali ia memasukan dananya sebagai pinjaman yang
tidak dapat dibayar dari modal; dalam kasus itu akan menjadi sebesar
pinjamannya.
b. Keuntungan dan kerugian
1. Dalam kasus mudharabah, jika
pengusaha membeli barang-barang dengan kredit dalam kelebihan total modal
bisnis dengan persetujuan pemilik, keduanya pemilik dan pengusaha akan dianggap
bertanggung jawab untuk membayar utang.
2. Keuntungan atau kerugian apapun atas
uang yang dipinjam dalam kelebihan total modal ini, ia dalam posisi kemitraan
dengan pemilik. Ini tipe kemitraan ketika kedua atau seluruh mitra tidak
membawa modal apapun tapi mereka bertransaksi dengan modal dipinjamkan,
keuntungan atau kerugian akan dibagi antara pemilik dan pengusaha sama besar;
3. Jika pemilik ingin memperluas bisnis
pendekatan langsung untuknya adalah meminjam sejumlah uang dari luar dan
menyalurkannya ke usaha atas namanya. Dalam kasus itu, ia akan dipertimbangkan
sebagai pemilik seluruh modal yang diinvestasikan dan tingkat mudharabah akan
diterapkan atas total keuntungan.
4. Dalam kasus ada kerugian modal, pada
saat itu, kreditor pertama akan dibayar penuh dan sisa penurunan modal akan
ditanggung oleh pemilik sendiri.
5. Pembubaran Mudharabah
Seperti kemitraan, kontrak
mudharabah dapat dicabut kembali kapanpun, kecuali pencabutan kembali merugikan
pihak lain. Dalam cara yang sama ia akan dibubarkan dengan kematian,dan/atau
kegilaan salah satu pihak. Seperti kemitraan, kontrak mudharabah dapat
dilanjutkan oleh orang yang tersisa, dalam kasus salah seorang memilih untuk
pergi atau meninggal atau mengantisipasi luka fisik atau mental. Ini member
ketahanan hidup organisasi. Ia tidak perlu dibubarkan ketika salah seorang keluar.
b. Syirkah
Shirkah (atau sharikah) menunjukkan pada hubungan kerjasama/kemitraan antara dua
atau lebih orang, yang terdiri atas dua jenis: shirkah al-milk (tanpa kontrak) dan shirkah al-‘uqud (dengan kontrak). Shirkah al-milk (kerja tanpa kontrak) menjelaskan kepemilikan usaha
dan datang ke dalam keberadaan ketika dua atau lebih orang yang terjadi untuk
memperoleh kepemilikan kerja sama beberapa asset tanpa harus memasuki ke dalam
perjanjian kerja sama formal.
Shirkah
al-‘uqud (kerja
sama kontraktual) dapat dipertimbangkan sebagai kerja sama tertentu karena
perhatian berbagai pihak berkeinginan masuk kedalam perjanjian kontraktual
kerjasama investasi dan pembagian keuntungan dan risiko. Perjanjian tersebut
tidak membutuhkan formalitas dan tertulis. Bisa saja dalam bentuk tidak formal
dan secara lisan. Bagaimanapun diindikasikan di bawah mudharabah, akan sangat disukai jika shirkah al-‘iqud juga diformalisasikan oleh perjajian tertulis
dengan saksi-saksi tertentu, khususnya menentukan tahap dijajiakan dan kondisi
konfirmasi dengan al-qur’an.
Syirkah terdiri dari dua jenis,
yaitu:
a.
Syirkah al-Milk (non kontrak); dan
b.
Syirkah al-‘Uqud (sesuai kontrak), yang
terdiri dari empat model, yaitu Mufawadhah, Inan (An’am),
Abdan (Sanai), dan Wujuh.
Kerjasama jenis ini secara
singkat dapat dijelaskan, yaitu:
1)
Syirkah Mufawadhah, semua pihak yang bekerjasama mempunyai kedudukan yang
sama baik dalam keuntungan dan kerugian, sehingga mereka mempunyai andil modal
yang sama. Setiap pihak merupakan agen dan siap membantu pihak yang lain.
2)
Syirkah An’am, kedua pihak yang bekerjasama tidak memiliki andil yang sama baik dari segi
modal maupun dalam pembagian keuntungan. Pihak yang memiliki andil dalam modal
yang lebih besar akan memperoleh keuntungan yang lebih besar pula.
3) Syirkah Sanai (Syirkah Abdan), apabila para ahli, teknisi, dan pekerja-pekerja
sama memproduksi suatu komoditi atau beberapa komoditi.
4)
Syirkah Wujuh, apabila suatu pihak tidak
mempunyai keahlian maupun modal yang akan diikutsertakan dalam suatu usaha,
maka mereka boleh ikut dalam usaha itu berdasarkan kredit dan berhak menerima
keuntungan.
c.
Perusahaan
Merupakan salah satu
bentuk dari organisasi bisnis dalam Islam, dengan badan hukum yang terpisah,
tidak terlihat secara langsung dalam diskusi fiqh. Perkiraan terdekat untuk
badan hukum perusahaan adalah baitul maal, properti masjid, kepercayaan,
dan kerjasama mufawadhah. Perusahaan sangat penting dalam organisasi
bisnis Islam. Ia menyediakan keamanan dan keuntungan yang tidak bisa didapat
dari bentuk organisasi bisnis lainnya.
1. Prilaku perusahaan Islami
Pelajaran
mengenai perilaku telah mendapat kesempatan dengan perilaku menyimpang yang
dilaporkan dari Ernron dan WorldCom pada praktik akuntansi. Ditahun 1999,
perilaku prusahaan telah mendapatkan perhatian, ketika didukung oleh Organisasi
Pengembangan dan Kerjasama Ekonomi (OECD) definisi dari perilaku perusahaan
sebagai hubungan antara manajemen perusahaan, dewan direksi, pemegang saham,
dan pihak lain yang berkepentingan.
Sisi
berlawanan dari versi Eropa, seperti yang dikonfirmasi oleh model Franco
German, menolong untuk melindungi siklus yang luas dari pihak yang
berkepentingan dan memiliki klaim, hak, dan kewajiban masing-masing pihak yang berkepentingan. Model ini berkata bahwa
seharusnya diarahkan untuk manfaat dari semua yang memiliki kepentingan dalam
perusahaan.
Pelajaran mengenai perilaku
perusahaan Islam seharusnya menarik minat seseorang, memberikan banyak jalan
tersembunyi yang belum ditunjukkan pada sisi resmi fiqh mensyaratkan fukaha
(ahli hukum Islam) untuk mengambil pandangan yang serius terhadap bentuk
perusahaan gabungan dan kerja sama dalam modal. Tidak diragukan lagi, menguji
bentuk kemanusiaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi tindakannya terletak pada
filosofi utama (falasafah) dan mistik (tasawuf).
2.
Kepemilikan
Tunggal
Kepemilikan
tunggal sebagai bentuk yang sangat sederhana dalam organisasi bisnis dan hampir
ada disetiap ekonomi non-sosialis dan jenis ini sekaligus sebagai bentuk paling
tua dalam menjalankan bisnis. Bentuk lain organisasi bisnis berkembang kemudian
dengan kebutuhan dan kompleksitas kehidupan ekonomi dan sosial.
Seperti dalam sistem ekonomi
kapitalis, ekonomi islam mengizinkan perusahaan swasta oleh individu dan tidak
mengikatnya dalam cara lain kecuali bisnis dijalankan dalam ikatan syariah
Islam. Organisasi tersebut harus mampu mendaptkan modal, menggaji tenaga kerja,
dan faktor lain pada produksi, utamanya dalam menghadapi resiko kerugian apapun
yang mungkin terjadi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Organisasi bisnis dalam perspektif Islam adalah keseluruhan
koordinasi antar subsistem yang saling berhubungan dalam rangka mencapai tujuan
usaha yang didasari aturan syari’ah.
2. Organisasi dalam bisnis Islam sangat dibutuhkan peranannya. Urgensi
ini berkaitan erat dengan tujuan dari bisnis perspektif syari’ah, yang intinya
adalah demi kemaslahatan masyarakat.
3. Mudharabah dan shirkah keduanya
diperlukan sebagai kontrak berjangka panjang waktu (‘uqud al-amanah) dalam
literature fiqh, kejujuran yang tidak tercoreng dan keadilan sungguh sangat
penting untuk dipertimbangkan. Para mitra harus berkeyakinan untuk keuntungan
bersama dan setiap usaha mitra (atau direktur perusahaan join saham) untuk atau pendapat berasal dari bagian yang
tidak adil akan menjadi kejahatan yang sempurna dalam ajaran islam.
B. Saran
Demikian
makalah ini kami susun,
namun sebagai manusia yang tidak sempurna kami menyadari bahwa ada banyak
kesalahan-kesalahan serta kekurangan-kekurangan yang terdapat didalamnya baik
dalm segi isi, pengetikan, dan kesalahan-kesalahan yang terjadi, untuk itu
kiranya dapat di maklumi.
DAFTAR PUSTAKA
Harahap, Sofyan S. Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam.
Jakarta: Salemba Empat.2011.
Arijanto, Agus. Etika Bisnis Bagi Pelaku Bisnis. Jakarta: Rajawali
Pers. 2011.
Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam. Jilid I. Yogyakarta: Dana
Bhakti Wakaf. 1995.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar